Translate

Thursday, 8 March 2012

Sejarah Belanda-Indonesia Sama, Persepsi Beda



Februari 1942, Jepang mengancam dengan armadanya akan menyerbu Jawa, armada Belanda di bawah pimpinan Karel Doorman bersama sekutu Inggris dan Amerika Serikat mencoba menghalangi, namun gagal. Tiga kapal armada Belanda tenggelam, dalam pertempuran di Laut Jawa. Komandan Karel Doorman gugur.
Peristiwa bersejarah ini diperingati di Den Haag, dihadiri Putra Mahkota Belanda, Pangeran Willem Alexander, menggantikan ibunya, Ratu Beatrix yang berhalangan. Kehadiran putra mahkota Belanda menandakan pentingnya peringatan ini untuk Belanda.
Beda persepsi
Di Indonesia peringatan diselenggarakan di taman pahlawan Belanda di Surabaya, dihadiri delegasi veteran Belanda. Peringatan pertempuran bersejarah ini tidak mendapat perhatian umum di Indonesia. Mencolok, perisitiwa bersejarah invasi Jepang di Jawa, mendapat sorotan berbeda di Indonesia dan di Belanda, padahal keduanya memiliki kebersamaan sejarah selama berabad-abad.
“Kekalahan Belanda ini menandakan berakhirnya kekuasaan di Indonesia,” demikian sejarawan David Barnouw, staf Lembaga Belanda penelitian dokumentasi perang NIOD. “Di Belanda kita jumpai gambaran romantis mengenai perjuangan heroik Karel Doorman beserta bawahannya,” lanjut Barnouw.
“Beda dengan Indonesia, yang menganggap itu masalah orang Belanda dan Jepang,” demikian pakar sejarah Universitas Negri Malang Harijono, “Perangnya orang Belanda. Tuntutan demokratisasi nasionalis Indonesia sebelum perang dunia kedua ditolak Belanda. Orang Belanda tidak bersedia memberi konsesi.”
“Dalam tiga abad hubungan Belanda Indonesia, rasa senasib seperjuangan tidak terbangun. Jadi kebersamaan sejarah antara penjajah dengan jajahannya mendapat arti yang berbeda,” jelas David Barnouw.
“Belanda menganggap pemerintahan kolonialnya berbuat baik di Indonesia, padahal ketika Jepang masuk Indonesia sebagian penduduk Indonesia senang, mereka belum tahu Jepang itu lebih jelek,” tambah Barnouw.
Ingatan sejarah
Ada hal lain dibalik sikap acuh tak acuh Indonesia terhadap peringatan Perang di Laut Jawa. Sejarawan Indonesia Boni Triyana menyatakan ingatan sejarah orang Indonesia sejak Orde Baru sepenggal-sepenggal, apa yang resmi itulah yang diingat.
“Jadi peristiwa seperti perjuangan Karel Doorman, dan juga sejarah lain tidak ada dalam memori sejarah orang Indonesia,” demikian Boni.
Selain itu persepsi Indonesia beda dengan Belanda soal Jepang. “Bahasa Belanda pertama kali dilarang pada jaman Jepang, bahasa Indonesia diwajibkan. Jepang mendukung nasionalisme Indonesia. Sebaliknya Belanda sangat menderita semasa Jepang di Indonesia. Kerja paksa, kamp inteniran dan sebagainya. Jepang saat itu juga berhubungan erat dengan Nazi Jerman yang menduduki Belanda,” demikian Boni yang menempatkan peringatan Perang di Laut Jawa dalam konteks sejarah Perang Dunia II.
Laporan di media Indonesia memang tidak ada. “Tapi saya kagum, orang Belanda berani mengakui dan memperingati kekalahan. Ada kecenderungan suatu bangsa tidak memperingati peristiwa yang pahit. Justru peristiwa pahit bisa dipetik hikmahnya,” demikian sejarawan Harijono
Mitos
Dengan peristiwa Perang di Laut Jawa, gugurlah mitos bahwa Belanda tidak terkalahkan, bahwa Belanda tidak bisa diusir dari bumi Indonesia. Hal ini mendukung heroisme rakyat Indonesia yang mati-matian melawan Belanda yang mau menjajah kembali.
“Ternyata Belanda bukan kekuatan yang super dan bisa dikalahkan,” demikian Harijono. 



No comments:

Post a Comment

weapon military