JAKARTA-(IDB) : Pembelian alat utama sistem senjata di Indonesia berpotensi menguntungkan segelintir orang yang lazim disebut calo atau makelar pengadaan. Jika tidak diberantas, calo akan membebani keuangan negara dan merugikan TNI sebagai pengguna.
"Calo itu sudah ada sejak sebelum reformasi, sekali tender untungnya bisa miliaran rupiah," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi Strategi Pertahanan Indonesia Rizal Darmaputra Msi pada Jawa Pos, Sabtu (4/2).
Calo ini biasanya berupa perusahaan rekanan yang mempunyai koneksi dengan pejabat tertentu. Menurut Rizal, calo hanya mengambil satu atau dua persen dari total belanja senjata.
"Tapi peralatan yang dibeli bisa jutaan dollar satu buahnya, bisa dibayangkan berapa keuntungannya," kata alumnus IDSS Jenewa, Swiss itu.
Sebagai ilustrasi harga satu tank kelas berat sejenis Leopard seharga Rp 25 miliar per buah. Sedangkan satu pesawat intai sekelas Searcher MK II buatan Israel harganya Rp 54 miliar.
Ada beberapa modus yang biasa dipakai calo calo ini. Pertama, menggunakan sistem komisi. Yakni, mereka yang melakukan survei sekaligus mendatangkan barang sampai Indonesia.
Pejabat yang menangani tinggal terima beres saja. "Komisi ini diambil dari nilai tender totalnya," katanya.
Modus kedua, melakukan mark up harga. Jika ternyata deal, maka senjata yang dibeli bisa tiga kali lipat lebih mahal dari harga aslinya. "Mereka ini diuntungkan dari selisih harga itu," kata Rizal.
Untuk memuluskan rencananya, para calo tak segan segan memberi servis ekstra untuk para pejabat yang terlibat dalam jual beli senjata. "Misalnya mengantar ke pabrikan di luar negeri secara gratis, tentu tidak lupa ada uang saku juga," kata peneliti yang beberapa kali melakukan riset ke Afghanistan ini.
Namun, Rizal mengaku tidak tahu persis apakah sistem percaloan itu masih ada dalam pengadaan senjata saat ini. "Itu praktik di masa lalu, mudah-mudahan saja sudah tidak ada lagi, yang rugi TNI dan juga keuangan negara hilang sia sia," katanya.
Presiden SBY juga menaruh perhatian khusus soal mafia alutsista ini. Dalam rapat kabinet bidang pertahanan Kamis (02/02) lalu SBY secara khusus meminta agar tidak ada lagi praktik mark up dalam pengadaan alutsista.
SBY mengingatkan juga agar praktik kongkalikong dalam pengadaan alutsista yang bisa merugikan negara bisa dihindari. "Jangan ada mark up, jangan ada lobi sana lobi sini, menggalang sana menggalang sini, akhirnya harganya menjadi berlebihan dan negara dirugikan," kata SBY saat itu.
Dalam paparan di depan DPR sehari sebelumnya, KSAD Pramono Edhi Wibowo secara tegas akan membasmi sistem percaloan dan mark up. Ipar SBY ini menegaskan sistem pembelian senjata berlangsung G to G (government to government) dan tidak menggunakan jasa perantara.
Saat ini yang menjadi kontroversi soal pengadaan senjata adalah rencana pembelian tank Leopard dari Belanda dan pesawat intai tanpa awak dari Filipina yang dibuat oleh Israel.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan Brigjen Hartind Asrin menegaskan sistem calo sudah tidak ada lagi dalam pengadaan senjata di lingkungan TNI. "Semuanya dibahas oleh lembaga yang disebut clearing house yang dipimpin langsung oleh Wakil Menteri Pertahanan," katanya.
Dengan begitu, tidak ada ruang bagi calo untuk beroperasi. "Ada rapat yang juga dihadiri wakil kepala staf tiga angkatan. Nanti dilihat secara teknis spesifikasinya dan kesesuaian dengan pagu anggaran yang ada," katanya
"Calo itu sudah ada sejak sebelum reformasi, sekali tender untungnya bisa miliaran rupiah," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi Strategi Pertahanan Indonesia Rizal Darmaputra Msi pada Jawa Pos, Sabtu (4/2).
Calo ini biasanya berupa perusahaan rekanan yang mempunyai koneksi dengan pejabat tertentu. Menurut Rizal, calo hanya mengambil satu atau dua persen dari total belanja senjata.
"Tapi peralatan yang dibeli bisa jutaan dollar satu buahnya, bisa dibayangkan berapa keuntungannya," kata alumnus IDSS Jenewa, Swiss itu.
Sebagai ilustrasi harga satu tank kelas berat sejenis Leopard seharga Rp 25 miliar per buah. Sedangkan satu pesawat intai sekelas Searcher MK II buatan Israel harganya Rp 54 miliar.
Ada beberapa modus yang biasa dipakai calo calo ini. Pertama, menggunakan sistem komisi. Yakni, mereka yang melakukan survei sekaligus mendatangkan barang sampai Indonesia.
Pejabat yang menangani tinggal terima beres saja. "Komisi ini diambil dari nilai tender totalnya," katanya.
Modus kedua, melakukan mark up harga. Jika ternyata deal, maka senjata yang dibeli bisa tiga kali lipat lebih mahal dari harga aslinya. "Mereka ini diuntungkan dari selisih harga itu," kata Rizal.
Untuk memuluskan rencananya, para calo tak segan segan memberi servis ekstra untuk para pejabat yang terlibat dalam jual beli senjata. "Misalnya mengantar ke pabrikan di luar negeri secara gratis, tentu tidak lupa ada uang saku juga," kata peneliti yang beberapa kali melakukan riset ke Afghanistan ini.
Namun, Rizal mengaku tidak tahu persis apakah sistem percaloan itu masih ada dalam pengadaan senjata saat ini. "Itu praktik di masa lalu, mudah-mudahan saja sudah tidak ada lagi, yang rugi TNI dan juga keuangan negara hilang sia sia," katanya.
Presiden SBY juga menaruh perhatian khusus soal mafia alutsista ini. Dalam rapat kabinet bidang pertahanan Kamis (02/02) lalu SBY secara khusus meminta agar tidak ada lagi praktik mark up dalam pengadaan alutsista.
SBY mengingatkan juga agar praktik kongkalikong dalam pengadaan alutsista yang bisa merugikan negara bisa dihindari. "Jangan ada mark up, jangan ada lobi sana lobi sini, menggalang sana menggalang sini, akhirnya harganya menjadi berlebihan dan negara dirugikan," kata SBY saat itu.
Dalam paparan di depan DPR sehari sebelumnya, KSAD Pramono Edhi Wibowo secara tegas akan membasmi sistem percaloan dan mark up. Ipar SBY ini menegaskan sistem pembelian senjata berlangsung G to G (government to government) dan tidak menggunakan jasa perantara.
Saat ini yang menjadi kontroversi soal pengadaan senjata adalah rencana pembelian tank Leopard dari Belanda dan pesawat intai tanpa awak dari Filipina yang dibuat oleh Israel.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan Brigjen Hartind Asrin menegaskan sistem calo sudah tidak ada lagi dalam pengadaan senjata di lingkungan TNI. "Semuanya dibahas oleh lembaga yang disebut clearing house yang dipimpin langsung oleh Wakil Menteri Pertahanan," katanya.
Dengan begitu, tidak ada ruang bagi calo untuk beroperasi. "Ada rapat yang juga dihadiri wakil kepala staf tiga angkatan. Nanti dilihat secara teknis spesifikasinya dan kesesuaian dengan pagu anggaran yang ada," katanya
Sumber : JPNN
No comments:
Post a Comment